Beberapa koreksi dari para ahli menunjuk, bahwa salah satu permasalahan yang mendasar adalah orientasi pembangunan ekonomi yang kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi (grass root). Kondisi ini tercermin dari konsentrasi industrialisasi berskala menengah ke atas, sehingga sektor ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat kurang diperhitungkan.
Lalu kenapa kemiskinan tetap melanda pada sebuah negara yang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi. Penyebab utama dari timbulnya kemiskinan ini adalah,
(1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan,
(2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan,
(3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan,
(4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha,
(5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah,
(6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi,
(7) terbatasnya akses terhadap air bersih,
(8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah,
(9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam,
(10) lemahnya jaminan rasa aman,
(11) lemahnya partisipasi,
(12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga,
tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakatGaris kemiskinan membedakan golongan orang kaya dan kelompok orang miskin dengan tolok ukur pendapatan per kapita per hari atau jumlah kalori yang dikonsumsi setiap orang perharinya. Tepat pada garis kemiskinan itu sendiri, si kaya dan si miskin tidak dapat dibedakan. Tetapi apabila makin menjauhi garis kemiskinan, jurang perbedaan si kaya dan si miskin makin lebar. Seiring dengan perubahan harga kebutuhan hidup sehari-hari dan perubahan tingkat hidup masyarakat, maka garis kemiskinan juga ikut berubah dan cenderung terus meningkat. Garis kemiskinan juga berbeda antara kota dan desa, desa dengan desa lain, negara dan negara, tergantung dari tolak ukur yang digunakan.
Indonesia menggunakan tolok ukur kemiskinan dengan Upah Minimum Regional (UMR). Bulan Juli 2000 UMR di Jakarta naik dari Rp. 286.000,- menjadi Rp. 344.287,- per Kepala Keluarga per bulan atau Rp. 2.650,-per kapita per hari (l KK= 4,3 jiwa). Apalah artinya pendapatan Rp. 2.650,- /orang/hari untuk hidup di Jakarta. Jelas tidak akan mencukupi.
Upaya penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru sejak 1969. Pada awal pemerintahan Orde Baru, pembangunan dimulai dari kondisi ekonomi yang parah karena pendapatan per kapita yang rendah, 60 persen penduduk masih berada dalam situasi kemiskinan. Ketika itu program khusus penanggulangan kemiskinan belum menjadi prioritas utama. Strategi pembangunan lebih bertumpu pada upaya rehabilitasi ekonomi yakni mengendalikan angka inflasi, menciptakan iklim investasi,SNPK dan
Pengarusutamaan Penanggulangan Kemiskinan
PENDAHULUAN
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) resmi digulirkan pada 2005 oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat sebagai model baru penanggulangan kemiskinan.[1] Naskah yang proses penyusunannya dikoordinasi oleh Bappenas dan didanai World Bank tersebut merupakan produk dari kerjasama yang lama antar berbagai pemangku kepentingan. Tahap penyusunan SNPK dimulai dari penyusunan I-PRSP (Interim Poverty Reduction Strategy Paper) pada 2002 oleh kantor Menko Kesra, sebagai road map penyusunan SNPK. Pihak yang terlibat dalam penyusunan tersebut adalah pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, DPRD, perguruan tinggi, dunia usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan wakil masyarakat miskin.
SNPK dimaksudkan sebagai landasan bersama (common platform) pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan oleh semua pihak dan menjadi acuan seluruh pelaku pembangunan baik di pusat maupun daerah. Karena daerah memiliki masalah kemiskinan yang berbeda, setiap daerah diharuskan menyusun Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) agar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing.
SNPK berusaha meletakkan kebijakan penanggulangan kemiskinan bukan sebagai program sektoral, tetapi sebagai arusutama pembangunan dengan menjadikan hak-hak dasar rakyat sebagai nilai yang harus dikedepankan dalam pembangunan nasional, khususnya dalam penanggulangan kemiskinan. Dalam hal ini, pembangunan pada intinya adalah pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Semua kebijakan negara adalah wujud dari pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak rakyat tersebut. Pertanyaannya apakah visi, misi, nilai, serta strategi penanganan kemiskinan yang terdapat SNPK benar-benar dapat terealisasi di tengah derasnya arus kapitalisme global dan carut marut kehidupan sosial politik nasional? Adakah SNPK benar-benar membuat upaya penanggulangan kemiskinan menjadi arusutama kebijakan publik dan hak-hak dasar warga miskin lebih terakui, terlindungi, dan terpenuhi, ataukah negara masih sulit untuk keluar dari pilihan-pilihan kebijakan yang memperburuk situasi kemiskinan sehingga warga miskin belum mampu terpenuhi semua hak-hak dasarnya? Adakah demokratisasi dan otonomi daerah memberi ruang yang kondusif bagi penerapan konsep SNPK di pusat dan di daerah?
KILAS BALIK KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKIKAN
Upaya penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru sejak 1969. Pada awal pemerintahan Orde Baru, pembangunan dimulai dari kondisi ekonomi yang parah karena pendapatan per kapita yang rendah, 60 persen penduduk masih berada dalam situasi kemiskinan. Ketika itu program khusus penanggulangan kemiskinan belum menjadi prioritas utama. Strategi pembangunan lebih bertumpu pada upaya rehabilitasi ekonomi yakni mengendalikan angka inflasi, menciptakan iklim investasi, stabilitas nasional, dan pertumbuhan ekonomi[2] (Dewey, dkk., 1993: 25-26). Kebijakan ekonomi makro seperti itu diharapkan dapat berimplikasi positif terhadap kesejahteraan masyarakat atau pengurangan angka kemiskinan. Kredo yang terkenal ketika itu adalah “besarkan kue dulu baru dibagikan”. Jika pertumbuhan ekonomi tinggi maka efek tetesan ke bawah (tricke down effects) pun juga akan tinggi, sehingga penduduk miskin yang keluar dari belenggu kemiskinan pun juga akan lebih banyak.[3]
Walaupun pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas pertama, namun upaya penanggulangan kemiskinan sebenarnya telah dirintis sejak Pelita I. Salah satunya adalah melalui program pemenuhan kebutuhan pokok. Pemenuhan kebutuhan pokok bahkan ditetapkan sebagai target utama pembangunan di Pelita I, dengan titik tekan pada sektor pertanian (Shahrir, 1986: 93). Pada Pelita I juga sudah ada program untuk warga miskin, yaitu Program Pelayanan Kesejahteraan Keluarga Miskin dan Asistensi Keluarga Miskin. Progra m tersebut pada Pelita II berganti nama menjadi Bimbingan Kesejahteraan Keluarga. Karena masih ada yang tidak setuju maka pada Pelita III diganti lagi dengan Bantuan dan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat. Pada Pelita IV dan V nama program itu berubah menjadi Penyantunan dan Pengentasan Fakir Miskin (Dewey, dkk, 1993: 29-30).
Upaya penanggulangan kemiskinan, paling tidak selama Pelita I, ternyata tidak mampu meredam terjadinya ketimpangan ekonomi. Berbagai bentuk ketimpangan ekonomi, seperti kesenjangan antargolongan penduduk, kesenjangan antarsektor, dan kesenjangan antardaerah menggejala pada tingkat yang signifikan (Sumodiningrat, 1998:36). Fenomena kesenjangan itulah yang menjadi alasan mahasiswa turun ke jalan pada 1974 menuntut agar masalah kemiskinan dan ketimpangan diatasi.[4]
Menyadari adanya isu ketimpangan ekonomi sebagai akibat pembangunan ekonomi yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan, pada Pelita II dilakukan pergeseran orientasi ke arah pemerataan dan penyediaan kebutuhan dasar, seperti pendidikan. Jika sebelumnya pertumbuhan diletakkan di urutan pertama dari Trilogi Pembangunan (pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas), maka pada Pelita II perataan diletakkan pada urutan pertama sebelum pertumbuhan. Bagian penting dari program tersebut adalah program Inpres. Inpres antara lain meliputi pembangunan sekolah dasar di seluruh Indonesia, di setiap tingkat kecamatan, yang dikenal dengan program SD Inpres. Program Inpres juga meliputi transfer dana dari tingkat desa ke tingkat kecamatan dan propinsi. Pada Pelita III upaya pemerataan dipertajam dengan menjadikan delapan jalur pemerataan menjadi target yang lebih eksplisit untuk memenuhi kebutuhan-keburtuhan pokok masyarakat dalam berbagai bidang, seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan (Shahrir, 1992: 48-49).
Upaya penanggulangan kemiskinan juga dilakukan melalui program pengembangan wilayah. Program seperti ini dilakukan sejak Pelita IV, beberapa diantaranya adalah Provincial Area Development Program (PDP) dan Program Pengembangan Wilayah Terpadu (PPW). Kedua program ini kemudian dilebur menjadi program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT). Program ini dirancang untuk mengatasi kelemahan program-program sektoral yang berasas dekonsentrasi. Dalam perkembangan berikutnya muncul program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P2KT), suatu program yang ditujukan pada masyarakat miskin perkotaan. Program bantuan berbasis wilayah juga dilakukan kepada desa-desa miskin melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Inpres pembangunan jalan di wilayah perdesaan.
Seperti diketahui, selama kurang lebih tiga dekade pemerintahan Orde Baru telah terjadi pengurangan angka kemiskinan yang cukup signifikan dari sekitar 60 persen menjadi 11 persen. Walaupun di atas garis kemiskinan masih banyak penduduk yang berada dalam situasi agak miskin (near poor) yang rentan jatuh ke dalam kemiskinan, penurunan angka kemiskinan sebanyak itu patut diapresiasi. Penurunan seperti itu mungkin merupakan konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang terjaga tinggi selama kurun waktu tersebut, tetapi sedikit banyak tentu karena sumbangan program-program penanggulangan kemiskinan yang digulirkan selama itu. Namun ada sejumlah faktor yang membuat model penanggulangan kemiskinan yang dilakukan di era Orde Baru tidak mungkin diterapkan lagi di era reformasi sekarang ini.
Pertama, kebanyakan program penanggulangan kemiskinan di masa Orde Baru bersifat top down. Upaya mendapatkan ketaatan dari rakyat dilakukan dengan cara mobilisasi, seringkali disertai intimidasi, bukan program bottom up dan participatori yang memberdayakan masyarakat. Kedua, program-program selama Orde Baru lebih berorientasi fisik dan tidak sustainable (misalnya program padat karya, PKT atau P2KT), kurang memperhatikan faktor-faktor sosial atau non fisik. Ketiga, program-program ketika itu bersifat homogen, polanya diatur dari pusat, daerah tinggal melaksanakan, sehingga kurang mengakomodasi keragaman karakteristik masalah antar daerah dan tidak memberdayakan pemerintah daerah (misalnya program swasembada pangan dengan keharusan menanam padi dan mengkonsumsi beras). Sistem perencanaan pembangunan yang sentralistik tersebut mematikan insiatif daerah dan kreatifitas lokal (local wisdom). Keempat, program-program kemiskinan belum merupakan program yang terintegrasi dengan kebijakan makro ekonomi, sehingga dapat terjadi upaya pengentasan kemiskinan di tingkat mikro dimentahkan oleh kebijakan ekonomi makro yang memiskinkan (misalnya, pengembangan industri yang padat teknologi dan modal yang tidak menyerap tenaga kerja kurang terampil dan melanggengkan ketergantungan Indonesia pada modal dan SDM dari luar negeri). Kelima, program-program kemiskinan selama pemerintahan Orde Baru kurang mengedepankan hak-hak dasar dari rakyat miskin dan kewajiban negara untuk mengakui, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut (misalnya dalam implementasi program-program pertanian, transmigrasi dan keluarga berencana yang sarat dengan pemaksaan dan intimidasi). Keenam, program penanggulangan kemiskinan selama Orde Baru kurang memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Gender memang telah menjadi agenda pemerintah seperti tampak dari adanya kementerian yang klhusus menangani masalah perempuan[5]. Namun praktek-praktek pembangunan yang tidak sensitif gender masih banyak terjadi karena keadilan dan keseteraan gender belum menjadi arusutama pembangunan.
Program-program seperti itu tidak mungkin dilanjutkan di era demokrasi dan otonomi daerah. Sentralisasi perencanaan dan implementasi pembangunan dengan menggunakan pendekaan top down dan mobilisasi rakyat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan good governance dan jika diteruskan akan menuai resistensi masyatakat. Rakyat tidak lagi dapat dijadikan obyek pembangunan, tetapi harus menjadi subyek pembangunan. Hak-hak dasar rakyat miskin harus diakui, dihormati dan dipenuhi oleh negara. Program penanggulangan kemiskinan juga harus dapat meningkatkan kemandirian dan keberdayaan masyarakat miskin. Masyarakat sendiri, atau organisasi masyarakat sipil, harus mengambil peran yang besar dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan juga tidak dapat dilakukan secara homogin karena bertentangan dengan prinsip otonomi daerah. Masing-masing daerah harus mempunyai inisiatif dan kerativitas menanggulangi kemiskinan dengan potensi yang mereka miliki, dan dengan tujuan, strategi serta sasaran yang sesuai dengan karakteristik daerah mereka. Selain itu, karena dengan terbitnya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 pengarusutamaan gender telah menjadi kebijakan negara, upaya penanggulangan kemiskinan harus sejalan dengan upaya pengarusutamaan gender.
Prinsip-prinsip di atas diwujudkan ke dalam 2 bentuk perubahan kebijakan: inkremental dan komprehensif. Perubahan inkremental dilakukan dengan merevisi program-program lama agar lebih sesuai dengan sistem sosial dan politik serta pemerintahan yang baru. Misalnya, P2KT dan Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT) tidak lagi memberi bantuan yang bersifat income generating atau terbatas pada bantuan-bantuan fisik, tetapi lebih difokuskan pada upaya pemberdayaan ekonomi rumahtangga miskin dengan pendekatan bottom up atau participatori. Sementara itu, perubahan yang komprehensif dilakukan dengan menyusun rencana komprehensif penanggulangan kemiskinan model baru, yakni Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Strategi ini diharapkan dapat memberi orientasi baru kepada semua program pembangunan di pusat dan di daerah sehingga terjadi hubungan sinergis antar semua program pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan.
SOLUSI SNPK
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNKP) dirumuskan berdasarkan sejumlah asumsi dasar. Pertama, pertumbuhan ekonomi tinggi tetap merupakan agenda penting yang harus diselamatkan. Penanggulangan kemiskinan tidak mungkin berhasil jika pertumbuhan ekonomi rendah, namun pertumbuhan tersebut haruslah berbasis luas (broad based economic growth) (Budiono, 2007), dan berpihak pada kaum miskin (pro-poor economic growth) (World Bank, 2006)[6]. Untuk itu kebijakan ekonomi makro harus diarahkan pada terwujudnya lingkungan yang kondusif bagi pengembangan usaha, dan terbukanya kesempatan yang luas bagi peningkatan kapabilitas masyarakat miskin.
Kedua, Semua program pembangunan harus sejalan atau memberi kontribusi positif terhadap penanggulangan kemiskinan. Dengan kata lain, penanggulangan kemiskinan harus menjadi arusutama pembangunan. Dengan demikian, tidak boleh lagi ada kebijakan pembangunan yang memiskinkan. Kemiskinan harus diatasi dari semua lini, yaitu dari semua faktor yang dapat menjadi sebab timbulnya kemiskinan. Kemiskinan diasumsikan bersumber dari 5 sebab utama: (1) rendahnya kesempatan orang miskin untuk berusaha, bekerja, dan mendapatkan pelayanan publik; (2) rendahnya kapasitas orang miskin dalam pendidikan, ketrampilan, dan melakukan aktualisasi diri; (3) lemahnya suara dan representasi dalam mekanisme politik dan pengambilan keputusan di sektor publik; (4) lemahnya dukungan kelembagaan yang dapat mendukung penguatan dan kemandirian individu atau kelompok miskin; dan (5) lemahnya kemitraan global karena struktur ekonomi politik dunia yang merugikan kepentingan negara miskin dan menyulitkan pemerintah di negara-negara miskin untuk mengatasi kemiskinan di negaranya. Agar kemiskinan dapat diatasi maka semua kebijakan pembangunan harus sejalan dengan lima strategi penanggulangan kemiskina, yaitu perluasan kesempatan, pemberdayaan kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas, perlindungan sosial, dan penataan kemitraan global.
Ketiga, semua program atau aktivitas pembangunan harus sejalan dengan prinsip hak-hak dasar kaum miskin, demokrasi, pengembangan tata kepemerintahan yang baik, kelestarian lingkungan, dan keadilan serta kesetaraan gender. Dengan kata lain, prinsip-prinsip tadi harus menjadi cross cutting issues pada semua upaya mengarusutamakan penanggulangan kemiskinan dalam pembangunan.
PRINSIP-PRINSIP DASAR SNPK
Kebijakan penanggulangan dalam SNPK didasarkan pada konsep dasar pengarusutamaan (mainstreaming). Penanggulangan kemiskinan tidak lagi dilihat sebagai program sektoral, tetapi menjadi ruh dari setiap kebijakan publik. Prinsip pengarusutamaan ini secara normatif meletakkan kebijakan penanggulangan sebagai inti atau orientasi dasar dari seluruh kebijakan publik. Dengan demikian, penanggulangan kemiskinan harus menjadi pertimbangan pertama dalam hirarki pilihan ketika pembuat kebijakan memilih sejumlah alternatif kebijakan publik di semua sektor pembangunan.
Konsep pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan ini dapat dianalogkan dengan upaya membersihkan sampah dari sungai. Jika kesejahteraan publik dianalogkan dengan air bening yang mengalir di sepanjang sungai sejak dari hulu hingga ke hilir maka kemiskinan adalah sampah yang mengotori air sungai tersebut. Sungai tidak akan bersih dari sampah jika orang hanya menjaga hulu sungai tanpa memperhatikan apa yang terjadi di hilir. Lebih tidak cukup lagi jika fokus perhatian orang hanya di hilir saja tanpa pemperhatikan apa yang terjadi di hulu dan sepanjang aliran sungai. Orang harus bekerja secara preventif dan proaktif sekaligus sejak di hulu untuk mencegah masuknya sampah ke sungai, dan jika sampah sudah terlanjur masuk, mau tidak mau harus ada langkah-langkah konkrit untuk mengeluarkannya dari sungai. Dengan analogi tersebut, SNPK bukanlah sekedar kumpulan program hilir yang menangani masalah kemiskinan secara inkremental atau tambal sulam, tetapi suatu gagasan komprehensif yang menuntut aksi all-out dari semua lini untuk mengatasi kemiskinan,.
Konsep SNPK tersebut dibangun di atas landasan filosofi negara yang sosialistik[7], dengan menjadikan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menekankan hak-hak rakyat untuk hidup sejahtera dan kewajiban negara untuk mensejahterakan rakyat sebagai landasan konstitusionalnya. Dengan kata lain, model negara yang dikehendaki konstitusi dan diadopsi oleh SNPK adalah negara kesejahteraan[8], sementara sisten ekonomi yang hendak dibangun adalah sistem Ekonomi Pancasila[9], atau Ekonomi Kerakyatan[10].
Pada UUD ’45 digariskan secara tegas asas kekeluargaan dalam mengembangkan perekonomian, penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara atau terhadap bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang semuanya harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara juga berkewajiban untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar, mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu, dan bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum.
Kotak 1: PRINSIP-PRINSIP SOSIALISME DALAM UUD 1945 Pasal 33: Ayat 1 : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Ayat 2 : “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Ayat 3 : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ayat 4 : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Pasal 34 : Ayat 1 : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Ayat 2 : ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Ayat 3 : ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum”. |
Prinsip lain yang melandasi naskah SNPK adalah konsep hak-hak dasar rakyat. Secara eksplisit dalam naskah SNPK disebut pendekatan hak (right-based approach). Rumusan visi utama SNPK mencerminkan adopsi dari pendekatan hak ini: “Masyarakat Indonesia baik laki-laki maupun perempuan memperoleh hak-hak dasar yang menjamin harkat dan martabatnya sebagai manusia dan warganegara”. Dengan rumusan visi seperti ini, negara diwajibkan menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap dan progresif.
Menghormati bermakna bahwa negara akan meratifikasi konvensi tentang hak-hak dasar dan menyusun peraturan perundangan yang mendukung perlindungan dan pemenuhan hak dasar, melakukan berbagai upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terlindungi dan terpenuhinya hak-hak dasar, merumuskan kebijakan yang tidak melanggar hak-hak dasar, dan tidak turut serta dalam pelanggaran hak-hak dasar tersebut. Melindungi bermakna bahwa negara akan melakukan berbagai upaya untuk melindungi hak-hak dasar dari pelanggaran yang mungkin terjadi atau dilakukan oleh pihak ketiga. Sementara itu, memenuhi berarti bahwa negara akan menggunakan sumberdaya dan sumberdana yang tersedia untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin, termasuk menggerakkan secara aktif sumberdaya dari masyarakat, swasta dan berbagai pihak
Pendekatan hak ini mendapatkan landasan konstitusional yang kokoh karena ada sejumlah pasal dalam UUD 1945 yang secara eksplisit memberi jaminan hak kepada semua warga negara seperti yang dijabarkan dalam Kotak 2.
Kotak 2: Hak-hak warga negara menurut UUD 1945 Pasal 28 C, F, G, H, dan I, dan pasal 31 ayat 1, 1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” 2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. 3. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 4. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. 5. Setiap warga negara berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. 6. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. 7. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mpengembangkan ribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 8. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. 9. Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 10. Setiap orang berhak untiuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. 11. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. 12. Setiap orang berhak untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. 13. Setiap orang berhak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” 14. Setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” 15. Setiap orang berhak atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia sebagai tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” 16. Setiap orang berhak untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, dan keharusan negara untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia tersebut dengan mengatur, dan menuangkannya dalam peraturan perundang-undangan. 17. Tiap-tiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan” |
Hak-hak yang terkandung dalam UUD 1945 tersebut tercermin dalam rumusan tentang sasaran SNPK. Di situ dinyatakan bahwa negara berkewajiban untuk mengakui, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar waganegara di sembilan sektor kesejahteraan:
1. Tersedianya pangan yang bermutu dan terjangkau, serta meningkatnya status gizi masyarakat, terutama ibu, bayi dan anak balita.
2. Tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau dan tanpa diskriminasi gender.
3. Tersedianya pelayanan pendidikan dasar yang bermutu, terjangkau dan tanpa diskriminasi gender.
4. Tersedianya lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta meningkatnya kemampuan pengembangan usaha tanpa diskriminasi gender.
5. Tersedianya perumahan yang layak dan lingkungan permukiman yang sehat.
6. Tersedianya air bersih dan aman, dan sanitasi dasar yang baik.
7. Terjamin dan terlindunginya hak perorangan dan hak komunal atas tanah.
8. Terbukanya akses masyarakat miskin dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
9. Terjaminnya rasa aman dari gangguan keamanan dan tindak kekerasan, terutama di daerah konflik.
Untuk terpenuhinya hak-hak dasar tersebut SNPK menggariskan sejumlah rencana aksi pro-miskin di semua sektor pembangunan. Dalam bidang monoter, diupayakan peningkatan akses masyarakat miskin terhadap permodalan dengan memperluas jangkauan pelayanan lembaga keuangan mikro dan memperingan persyaratan agunan yang diperlukan. Di sektor fiskal, Dana Alokasi Khusus (DAK) harus diarahkan untuk pemenuhan hak dasar masyarakat miskin. Di bidang pertanian, perlu dilakukan reorientasi pengelolaan usaha tani melalui pengembangan agribisnis dengan tetap mengutamakan peningkatan kesejahteraan petani. Di sektor perdagangan perlu dilakukan penyederhanaan prosedur ekspor dan impor untuk meningkatkan kemudahan arus barang dan jasa terutama hasil usaha kecil dan mikro, dan koperasi; juga dilakukan peningkatan promosi dan kerjasama industri dan perdagangan internasional dengan melibatkan secara langsung pelaku usaha kecil dan mikro, dan koperasi. Di bidang infrastruktur diperlukan adanya rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan di daerah perdesaan terutama yang menghubungkan pusat kegiatan usaha kecil dan menengah, dan koperasi dengan ruas jalur utama distribusi dan pusat perdagangan. Di sektor kesempatan kerja, perlu dibuat berbagai kebijakan yang diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas usaha.
Upaya perluasan kesempatan kerja dilakukan melalui berbagai kebijakan yang diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas usaha, antara lain dengan sejumlah kebijakan:
1. Pengembangan mekanisme penyaluran kredit bagi usaha koperasi, dan usaha mikro dan kecil dengan bunga yang terjangkau.
2. Perlindungan dan dukungan bagi pengembangan lembaga keuangan mikro.
3. Revitalisasi dan perluasan usaha perkebunan, perikanan dan peternakan.
4. Pengembangan usaha di luar pertanian (off farm ) di perdesaan.
5. Perluasan usaha di kawasan pesisir dan daerah tertinggal.
6. Penguatan Usaha Koperasi, dan Usaha Mikro dan Kecil.
7. Penguatan Lembaga Keuangan Mikro.
8. Pengembangan industri yang menyerap tenaga kerja.
9. Pembangunan infrastruktur untuk menyerap tenaga kerja.
10. Peningkatan kerjasama antara lembaga bursa kerja dan perusahaan.
KONTEKS, NILAI DAN STRATEGI SNPK
Upaya pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan dikembangkan dengan memperhatikan tiga konteks yang dalam naskah SNPK disebut sebagai cross-cutting issues, yaitu gender, lingkungan, dan tata kepemerintahan yang baik. Hal ini tampak pada rumusan visi SNPK: menjamin seluruh kebijakan dan aksi publik memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender, menjamin seluruh kebijakan dan aksi publik memperhatikan kelestarian lingkungan, dan menjamin seluruh kebijakan dan aksi publik memperhatikan pengembangan tata pemerintahan yang baik. Dengan demikian, konsep pengarusutamakan diterapkan secara berjenjang. Penanggulangan kemiskinan sendiri merupakan arusutama dari seluruh kebijakan pembangunan, sementara pengarusutamaan tersebut dilakukan dengan mengarusutamakan keadilan dan kesetaraan gender, kelestarian lingkungan, dan tata kepemerintahan yang baik.
Gambar 1: Hirarki Pengarusutamaan dalam Kebijakan Pembangunan.
Untuk menjamin terjadinya pengarusutamaan tersebut, strategi penanggulangan kemiskinan mendasarkan diri pada sejumlah nilai. Dalam hal ini, ada dua macam nilai yang menjadi landasan, nilai jenis pertama berkenaan dengan tujuan dan nilai jenis kedua berkenaan dengan proses.
Ada dua nilai yang berkenaan dengan tujuan, yaitu:
1. Kesamaan hak tanpa pembedaan:
Penanggulangan kemiskinan menjamin adanya kesamaan hak tanpa membedakan atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik dan kemampuan berbeda.
2. Manfaat bersama:
Penanggulangan kemiskinan harus memberi manfaat bagi semua pihak, terutama bagi masyarakat miskin laki-laki dan perempuan.
Sementara itu nilai yang berkenaan dengan proses ada empat, yaitu:
1. Partisipasi:
Penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan keterlibatan aktif semua pihak, termasuk orang miskin baik laki-laki maupun perempuan.
2. Transparansi:
Penanggulangan kemiskinan menekankan asas keterbukaan bagi semua pihak melalui pelayanan dan penyediaan informasi bagi semua pihak termasuk masyarakat miskin.
3. Akuntabilitas:
Adanya proses dan mekanisme pertanggungjawaban atas kemajuan, hambatan, capaian, hasil dan manfaat baik dari sudut pandang pemerintah dan apa yang dialami oleh masyarakat, terutama masyarakat miskin, laki-laki dan perempuan kepada parlemen dan rakyat.
4. Keterwakilan:
Adanya keterwakilan kelompok-kelompok yang berkepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari penanggulangan kemiskinan dengan mempertimbangkan keterwakilan kelompok minoritas dan kelompok rentan.
5. Keberlanjutan:
Penanggulangan kemiskinan harus menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan.
6. Kemitraan:
Adanya kemitraan yang setara dan saling menguntungkan antarpelaku dalam penanggulangan kemiskinan.
7. Terpadu:
Adanya sinergi dan keterkaitan yang terpadu antarpelaku dalam penanggulangan kemiskinan.
Kemudian berdasarkan pada nilai-nilai di atas dirumuskan 5 strategi SNPK, yaitu:
1. Perluasan kesempatan:
Strategi yang dilakukan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan.
2. Pemberdayaan kelembagaan masyarakat:
Strategi yang dilakukan untuk memperkuat kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat, dan memperluas partisipasi masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar.
3. Peningkatan kapasitas:
Strategi yang dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan.
4. Perlindungan sosial:
Strategi yang dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan (perempuan kepala rumah tangga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, kemampuan berbeda/penyandang cacat) dan masyarakat miskin baru baik laki-laki maupun perempuan yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial.
5. Penataan kemitraan global:
Strategi yang dilakukan untuk mengembangkan dan menataulang hubungan dan kerjasama internasional guna mendukung pelaksanaan keempat strategi di atas.
Demokrasi dan Otonomi Daerah: Peluang atau Kendala?
SNPK diterapkan ketika Indonesia telah menjadi negara demokratis dan desentralis. Semestinya sistem baru ini dapat memberi peluang bagi terlaksanya SNPK secara efektif. Namun hal ini tidak terjadi. Pangkal persoalan terletak pada pelaksanaan demokrasi dan otonomi daerah itu sendiri yang ternyata penuh dengan masalah. Demokrasi di Indonesia cenderung mengalami defisit dan Indonesia menjadi negara yang lemah dalam arti gagal menjalankan fungsi-fungsi penting dari negara, seperti penegakan hukum, kesejahteraan sosial dan pelayanan publik. Kelemahan negara juga tampak dari hubungan kelembagaan yang kacau balau[11]. Ada banyak terjadi inkonsistensi kebijakan antar departemen atau kementerian, juga inkonsistensi antara kebijakan pusat dan daerah. Inkonsistensi secara nyata terjadi dalam penerapan SNPK.
SNPK sudah mengandung masalah sejak di tingkat ratifikasi. Dengan masalah seperti ini, SNPK tidak cukup kuat untuk menjadi kekuatan pengikat dalam mengarahkan kebijakan publik di tingkat nasional atau daerah. Menurut hemat penulis, upaya pengarusutamaan kebijakan penanggulangan kemiskinan hanya dapat berhasil jika ada komitmen kuat dari seluruh stakeholder kebijakan, sejak di pusat hingga di tingkat akar rumput. Sayangnya, SNPK yang disusun secara kolaboratif dengan melibatkan banyak institusi negara dan dan non-negara ini hanya disyahkan sebagai Keputusan Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), bukan sebagai Instruksi Presiden atau Keputusan Presiden, apalagi sebagai Undang-Undang.[12] Sebagai diketahui, Menko Kesra hanya mengkoordinasi departemen atau kementerian tertentu di bidangnya, padahal bidang-bidang di luarnya, seperti ekonomi, sosial, hukum, politik, dan keamanan, juga tercakup dalam rumusan rencana aksi SNPK. Gagalnya SNPK sebagai Keputusan Presiden atau Undang-Undang barangkali merupakan indikasi kurang kuatnya komitmen politik pemerintah secara keseluruhan terhadap upaya penanggulangan kemiskinan.
SNPK hanyalah merupakan konsep rujukan yang memerlukan tindak lanjut yang lebih konkrit. Rencana aksi yang dirumuskan dalam SNPK hanya berupa indikasi program, bukan program yang secara konkrit diambil oleh pemerintah di pusat dan di daerah. Persoalan terjadi, khususnya ketika konsep SNPK ini diturunkan di daerah ke dalam bentuk Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD). Di era pemerintahan yang desentralis seperti sekarang ini SNPK tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menjadi rujukan baku penyusunan SPKD. Daerah secara hukum mempunyai kebebasan untuk menyusun SPKD tanpa harus secara mutlak mengikuti rumusan SNPK. Padahal agar upaya penanggulangan menjadi lebih sinkron dan konsisten, kesesuaian antara SNPK dan SPKD sebenarnya sangat diperlukan.
Kebutuhan adanya sinkronisasi dan konsistensi ini secara eksplisit disebutkan dalam naskah SNPK. Di dalam naskah SNPK dinyatakan bahwa salahsatu tujuan dari disusunnya SNPK adalah terbangunnya konsensus bersama dan keselarasan diantara berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, pelaku usaha, lembaga internasional. Keselarasan seperti hanya dapat terjadi jika ada sinkroniksasi antara SNPK dan SPKD baik sebagai proses maupun sebagai substansi. Sinkronisasi seperti ini nyaris menjadi suatu utopi. Kesiapan daerah di tingkat propinsi, kabupaten/kota berbeda. Secara logika, SNPK harus menjadi rujukan dalam menyusun SPKD propinsi, dan SPKD propinsi seharusnya mendasari SPKD Kabupaten. Urutan proses seperti ini dalam praktek tidak terjadi. Banyak kasus penyusunan SPKD kabupaten/kota yang mendahului penyusunan SPKD propinsi. Selain itu, SNPK dan SPKD adalah rujukan bagi penyusunan kebijakan pada periode pemerintahan 2005-2009. Sementara itu banyak daerah yang baru berhasil menyusun SPKD pada pertengahan periode (2007 atau 2008). Jika demikian, rujukan apa yang dipakai daerah dalam aksi penanggulangan kemiskinan sebelum SPKD ada, dan kapan SPKD tersebut diimplementasikan jika pelaksanaan pemerintahan sudah berada di tengah jalan?
Selain persoalan waktu penyusunan, kualitas SPKD di banyak daerah lemah dibanding SNPK. Penyusunan SNPK dilakukan dengan dukungan dana yang besar dan proses formulasi yang panjang (kurang lebih 3 tahun), sementara banak SPKD yang dikerjakan tergesa-gesa hanya dalam hitungan bulan, oleh SDM daerah yang mempunyai kapasitas perencanaan yang lebih terbatas. Karena keterbatasan SDM tersebut banyak daerah yang menyerahkan pembuatan SPKD kepada konsultan dari luar. Konsultan tersebut pun belum tentu menguasai seluk beluk masalah kebikakan penanggulangan kemiskinan, baik di pusat atau daerah, sehingga banyak naskah SPKD yang kualitasnya mengecewakan. Jika demikian, sulit untuk mengelak kesan bahwa penyusunan SPKD oleh pemerintah-pemerintah daerah hanyalah suatu formalitas birokrasi belaka, tidak secara nyata mendasari kebijakan penanggulangan kemiskinan di daerah.
Implementasi SNPK dan SPKD memerlukan monitoring dan evaluasi agar diketahui seberapa jauh proses pelaksanaan kebijakan tersebut konsisten dengan visi, misi, tujuan dan sasaran, serta seberapa jauh kebijakan tersebut pada akhirnya berhasil mencapai tujuan serta sasaran yang digariskan. Dalam hal ini naskah SNPK memuat sistem monev, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Sistem monev secara kelembagaan sudah terbangun sejak dibentuknya Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK). Badan ini dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 124 tahun 2001 jo. Nomor 8 tahun 2004 jo. Nomor 34 Tahun 2004. Kemudian di Daerah ada keharusan untuk membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD). Di tingkatnya masing-masing, KPK dan KPKD diharapkan dapat menjalankan fungsi menyeluruh sejak penyiapan naskah SNPK/SPKD dan dalam memantau serta mengevaluasi pelaksanaan SNPK/SPKD dengan menggelar forum konsultasi yang melibatkan semua stakeholder dan membentuk kelompok kerja untuk melakukan aktivitas operasional dalam penyusunan, monitoring, atau evaluasi kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Dalam praktek, KPK Nasional bukanlah lembaga yang merumuskan SNPK dan SPKD bukanlah produk KPKD. Pada tingkat Monev pun, pengalaman dari banyak daerah menunjukkan kurang maksimalnya peran dari komite. Hal ini karena baik KPK dan KPKD tidak didukung oleh anggaran yang memadai. Kerja KPK dan KPKD lebih terkesan sebagai sekedar untuk memenuhi tuntutan formalitas daripada kerja profesional, baik ketika mereka menyelenggarakan forum konsultasi atau pun ketika mereka melakukan evaluasi.
KATA PENUTUP
Indonesia mempunyai sejarah panjang penanggulangan kemiskinan. Pemerintah Orde Baru telah berhasil mengurangi angka kemiskinan, namun di era reformasi penurunan angka kemiskinan tidak berlangsung seperti diharapkan sehingga tampaknya sulit bagi Indonesia untuk mencapai target-target MDGs. Cara-cara Orde Baru melaksanakan pembangunan, termasuk penanggulangan kemiskinan, dalam banyak hal memang tidak dapat dilanjutkan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan otonomi daerah. SNPK merupakan model penanggulangan kemiskinan yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut. Karena itu semestinya upaya penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan lebih intensif dan efektif. Namun hal demikian ternyata tidak terjadi.
Kunci persoalan terletak pada keseriusan pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan secara konsisten prinsip-prinsip yang terkandung dalam SNPK. Dalam praktek masih muncul sejumlah kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prisip tersebut. Demokrasi semestinya dapat menjadi instrumen untuk berjalannya kontrol publik terhadap kebijakan anti-kemiskinan yang seringkali dibuat oleh pemerintah. Namun demokrasi yang masih mencari bentuk dan sarat dengan konspirasi dan penyimpangan (seperti money politics dan korupsi) sulit untuk menjadi safe-guard SNPK dari praktek-praktek pembangunan yang menyimpang. Di dalam lingkungan ekonomi dan politik seperti yang berkembang sekarang ini, konsep-konsep sosialistik yang diusung oleh SNPK cenderung berhenti sebagai jargon dan tidak terimplementasi secara konsisten dalam kebijakan dan aksi pemerintah.
Otonomi daerah semestinya dapat memberi peluang untuk menterjemahkan SNPK ke dalam SPKD yang lebih mencerminkan kepentingan masyarakat miskin di daerah dan lebih tepat dalam menjawab masalah kemiskinan yang spesifik di masing-masing daerah. Namun otonomi daerah dan demokratisasi politik di daerah juga belum menghasilkan pemerintahan daerah yang kuat dan efektif, sehingga harapan terjadinya penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan di daerah kurang terjadi. Tampaknya kita perlu terlebih dahulu melakukan konsolidasi demokrasi dan otonomi daerah agar penanggulangan kemiskinan yang integratif dan mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dapat terealisasi.
Daftar Pustaka
Baswir, Revrisond (2000). “Strategi Membangun Ekonomi Kerakyatan”, dalam Kiswondo, Oddie Shalahuddin, Sunarjo, Eko Budi Marwanto, dan Annger Jati Wijaya (editor). Politik Ekonomi Indonesia Baru. Yogyakata: Kerjasama Forum LSM,Yappika, dan Pustaka Pelajar, hal.3-20.
Darwin, Muhadjir (2004). “Pembangunan Propertumbuhan vs Prorakyat”, dalam Populasi. Vol.15, No.2, hal. 3-26.
Darwin, Muhadjir (2005). Memanusiakan Rakyat: Penanggulangan Kemiskinan sebagai Arusutama Pembangunan. Yogyakarta: Benang Merah.
Darwin, Muhadjir (2007). “Revitalisasi Nasionalisme Madani dan Penguatan Negara di Era Demokrasi”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas gadjah Mada, 11 April.
Dewey, Alice, Michael R. Dove, N. Dwi Retnandari, Loekman Soetrisno (1993). Suatu Tinjauan Mengenai Usaha-Usana Pemberantasan Kemiskinan di Indonesia 1968-1993: Realita Mikro dan Konteks Makro. Draft. Jakarta 31 Oktober (tidak dipublikasi).
Effendi, Sofian (2007). “Kontroversi Kebijakan Perdagangan Pendidikan”, makalah disampaikan pada Forum Kebijakan Publik, Program Magister Studi Kebijakan, Sekolah Pascasarjana, UGM, Yogyakarta, 17 September.
Heilbroner, Robert L. (1994). Terbentuknya Masyarakat Ekonomi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Koesoema A, Doni (2008). “Miopi Kebijakan Pendidikan”. Kompas. 29 Juli, hal.6.
Mubyarto & Boediono (1981) (editor). Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada.
Murchland, Bernard (1992). Humanisme dan Kapitalisme: Kajian Pemikiran tentang Moralitas. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Sjahrir (1986). Ekonomi Politik: Kebutuhan Pokok: Sebuah Tinjauan Prospektif. Jakarta: LP3ES.
Sjahrir (1992). Refleksi Pembangunan: Ekonomi Indonesia 1968-1992. Jakarta: PT Gramedia.
Sombart, Werner (1976). Why is there no Socialism in the United States? New York: M.E. Sharpe, Inc.
Soule, George (1994). Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka: Dari Aristoteles hingga Keynes. Yogyakarta: Kanisius.
Sumodiningrat, Gunawan (1998). Membangun Perekonomian Rakyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & IDEA.
Trijono, Lambang. “Selamat Pagi Pak Amien”. Kolom Analisis, Kedaulatan Rakyat, 20 Juli 2008 hal. 1 dan 23.
Triwibowo, Darmawan dan Sugeng Bahagio (2006), Mimpi Negara Kesejahteraan. Jakarta: LP3ES.
Yustika, Ahmad Erani (2003). Negara Vs. Kaum Miskin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yustika, Ahmad Erani (2004), “Reformasi Ekonomi, Konsensus Washington, dan Rintangan Politik”. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 6, No. 1, Maret: 1 - 14
[1] SNPK dideklarasikan bersamaan dengan dilaksanakannya Temu Nasional Penanggulangan Kemiskinan tahun 2005 dalam rangka peluncuran dan sosialisasi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) dan peringatan Hari Internasional Pengurangan Resiko Bencana, tanggal 12-13 Oktober 2005 di Hotel Millenium, Jakarta. Di situ dilaksanakan pula penandatanganan Deklarasi Gerakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan dan Krisis BBM melalui penanaman jarak pagar.
[2][2] Langkah drastis untuk menghentikan inflasi dan menstabilkan ekonomi adalah Peraturan 3 Oktober 1966 yang meliputi: kebijakan subsidi dan harga tetap (mengurangi distorsi harga, mengurangi subsidi dan mempertahankan kebutuhan-kebutuhan tertentu, seperti beras dan pupuk), peraturan kredit (mengurangi peranan perusahaan negara yang sangat tidak efisien), dan peraturan valuta asing (melonggarkan peraturan yang rumit dari masa sebelumnya) (Shahrir, 1986;90).
[3] Sejumlah kritik diberikan oleh para ahli yang mengatakan bahwa tetesan kesejahteraan ke bawah (trickle down effect) adalah mitos karena yang terjadi adalah tetesan dari arah sebaliknya, yaitu tetesan dari bawah ke atas (trickle up efffect)—dana yang bersumber dari bawah atau yang berasal dari atas tersedot kembali ke atas (Yustika, 2003:44).
[4] Demonstrasi mahasiswa ketika itu berlangsung berbulan-bulan mencapai puncaknya ketika Perdana Menteri Jepang, Tanaka berkunjung ke Indonesia, dari tanggal 14 hingga 16 Januari 1974. Tuntutan mereka agar masalah ketimpangan dan kemiskinan diatasi, membawa perubahan yang tercantum dalam dokumen Repelita II, sehingga akhirnya praktis pemerintah membebaskan biaya pendidikan bagi sekolah dasar (Shahrir, 1992: 78).
[5] Mengenai perkembangan kementerian yang mengurusi masalah pemberdayaan perempuan dan keadilan gender, lihat Darwin (2006).
[6] Pertumbuhan ekonomi dapat bersifat anti kemiskinan jika sektor-sektor ekonomi yang dibangun bias kepada kepentingan negara maju atau pengusaha besar dan tidak memberi orang miskin akses untuk ikut berpartisipasi. Diskusi mengenai hal itu, lihat Darwin (2004:9-11).
[7] Sosialisme dalam pengertian ini adalah berbagai variasi konsep ekonomi dan politik tentang negara atau kepemilikan dan administrasi kolektif (publik) sebagai cara produksi dan distribusi barang dan jasa. Diskusi mendalam tentang Sosialisme dan Kapitalisme dapat dibaca dalam Murchland (1992), Soule (1994), Sombart (1976), dan Heilbroner (1994).
[8] Negara Kesejahteraan (welfare state) mengacu pada peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang mencakup tanggungjawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar pada tingkat tertentu bagi warga negaranya (Triwibowo dan Bahagio, 2006).
[9] Ekonomi Pancasila adalah sublimasi dari aspirasi bangsa Indonesia yang telah terumus dalam pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Pembahasan yang mendalam tentang Ekonomi Pancasila, lihat Mubyarto dan Boediono 1981).
[10][10] Ekonomi Kerakyatan atau sering juga disebut Demokrasi Ekonomi adalah situasi perekonomian di mana berbagai kegiatan ekonomi diselenggarakan dengan melibatkan partisipasi seluruh warga masyarakat, hasil-hasilnya dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat, sementara penyelenggaraan kegiatan ekonomi berada di bawah pengendalian atau pengawasan anggota-anggota masyarakat. Dalam sistem ini, yang diutamakan adalah kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran orang seorang (lihat Baswir, 2000: 6-7).
[11] Diskusi mengenai hal ini, lihat Darwin (2007).
[12] Sebenarnya ada upaya dari Departemen Sosial ketika itu untuk menjadikan naskah SNPK ini sebagai basis untuk membuat UU Anti Kemiskinan. Usaha ini hingga artikel ini ditulis belum terealisasi.
0 comments: